Keberanian, kepandaian bergaul, dan kesediaan belajar terbukti lebih penting daripada pengalaman.

Semua pekerjaan pada awalnya dilakukan oleh orang-orang yang tak berpengalaman di bidang tersebut. Ironisnya, banyak orang kemudian mensyaratkan adanya setumpuk pengalaman untuk dapat bekerja di sebuah perusahaan. Dan setelah mereka merekrut orang-orang yang berpengalaman dari perusahaan lain, mereka baru sadar bahwa mereka mengundang malapetaka bagi perusahaannya sendiri.



Manajemen puncak perusahaan yang berkembang secara cepat, banyak yang kurang sabar untuk membimbing dan melatih bawahannya untuk mengikuti perkembangan usaha. Dan sebagai jalan pintas, mereka merekrut atau membajak orang-orang dari perusahaan lain yang diharapkan mampu unjuk prestasi. Mereka lupa bahwa orang yang berpengalaman memiliki kelemahan, dan orang-orang yang tak berpengalaman justru memiliki “keunggulan komparatif”.

Jika Anda belum memiliki pengalaman kerja, jangan kecil hati. Anda memiliki “keunggulan komparatif” jika dibandingkan dengan orang-orang yang berpengalaman, yakni: Anda belum terpolusi oleh budaya kerja perusahaan tertentu.

Sebagai konsultan dan praktisi di bidang pengembangan potensi, harkat dan martabat manusia, saya banyak mendengarkan keluhan manajemen puncak perusahaan tentang sulitnya memperbaiki kebiasaan kerja seseorang. Dan umumnya hal itu berlaku pada mereka yang telah berpengalaman di perusahaan lain.

Orang-orang yang pernah bekerja di sebuah perusahaan, apalagi dengan masa kerja yang relatif lama, tidak mudah menyesuaikan diri dengan budaya perusahaan baru. Apalagi bila ia direkrut untuk posisi manajemen. Biasanya ia menganggap dirinya serba tahu, “lebih profesional”, dan sebagainya. Ada kesombongan, terselubung maupun terang-terangan, dan hobi membanding-bandingkan perusahaan yang baru dengan perusahaan tempat ia bekerja sebelumnya. Jika ia gagal menunjukkan prestasi, perbedaan budaya dan sistem manajemen sering kali dijadikan kambing hitam. Itulah yang, antara lain, saya saksikan di beberapa bank swasta yang mempekerjakan “alumni” Citibank, Bank Mandiri, Bank BCA, Bank Niaga, dan Bank Danamon. Pertarungan “antar alumni” itu memicu perkembangan budaya perusahaan yang tidak sehat, penuh intrik, saling sikut menyikut, dan egoistis. Tak ada mutual trust (rasa saling percaya), sehingga tidak mengherankan bahwa kinerja bank yang bersangkutan menjadi buruk dan usaha integrasi internal (baca: sosialisasi visi, misi dan nilai bersama) menemukan jalan buntu.

Saya masih ingat ketika diminta berbicara dalam acara “Refleksi Tahunan Sari Warna Group Menyongsong Abad Ke-21” di Mercury, Jakarta Pusat, beberapa tahun yang lalu, saya berkenalan dengan Bambang Setijo. Pria tinggi besar berusia 58 tahun yang berbicara dengan suara meyakinkan itu, memulai usahanya dari bawah bersama keluarga Budi, mitra usahanya di Solo, Jawa Tengah. Kerjasama itu melibatkan hampir seluruh anggota keluarga mereka (adik, istri, anak, dan keponakan). Hasilnya, antara lain, tampak dalam rekor PT. Sari Warna Asli Textile Industry, yang berhasil menembus pasar mancanegara dan tidak roboh dilanda krisis moneter 1998 yang mengiringi runtuhnya pemerintah Orde Baru.

Sukses dengan usaha pertamanya itu, Bambang Setijo kemudian merambah ke berbagai bidang bisnis yang lain. Ia menjadi tokoh utama di balik perkembangan usaha CV. Rukun Jaya, PT. Sumber Rukun Jaya Prima, PT. Tristate Textiles Ltd., PT. Metropolitan Synthetic Chemical Industries, PT. Sari Warna Bali, PT. Dasar Rukun, PT. Intiras, PT. Pan Brothers, PT. Sarana Nugraha, PT. Indo Acidatama Chemical Industry, Bank Bintang Manunggal, PT. Tubantia Kudus Spinning Mills, PT. Alladintex Abadi, PT. Kalmatex, dan beberapa perusahaan lainnya.

Bambang, lelaki tertua dari sembilan bersaudara ini, mengaku bahwa perkembangan usahanya merupakan hasil belajar secara langsung (learning by doing). Beberapa perusahaan yang diambil alih (take over) berada dalam kesulitan, ketika ia memutuskan untuk masuk. Tanpa ragu, ia terjun menangani manajemen perusahaan yang bermasalah. Selama beberapa waktu ia bersedia melakukan tugasnya sebagai konsultan manajemen puncak perusahaan-perusahaan tersebut tanpa meminta imbalan apa pun.

Kecerdasan emosionalnya, yang ditunjukkan antara lain lewat pengenalan diri, kerendahan hati (ia sangat low profile dan memilih tidak mengendarai mobil mewah), kepercayaan diri, tekad bulat (determinasi), kegigihan, kerja keras, keberanian menghadapi risiko-risiko besar, kemampuan bergaul, dan keterbukaan pikiran (open mind) untuk menerima pendapatan orang lain, membuat Bambang dengan cepat belajar bagaimana menangani perusahaan bermasalah. Dari orang yang tak berpengalaman, ia menjadi ahli dalam soal yang satu ini.

Kini Bambang tak lagi bersedia untuk bekerja cuma-cuma. Jika orang memintanya untuk terjun menangani perusahaan bermasalah, ia menetapkan tarif sebagai pakar dalam soal ini. Dan imbal jasa yang diterima itulah yang kemudian ditanamkannya sebagai investasi untuk ikut memiliki perusahaan tersebut. Jadi Bambang dapat ikut memiliki saham perusahaan baru tanpa harus mengeluarkan uang dari koceknya sendiri.

“Saya tidak menganggap diri saya pintar dan tidak dapat ditipu. Tetapi, saya tidak akan dapat ditipu dua kali oleh orang yang sama atau dalam hal yang sama,” ujarnya pada saya.

Ia juga mengaku tidak suka mengganti para profesional yang telah lama bekerja di perusahaan yang dibelinya. Ia justru memilih untuk belajar memberdayakan mereka untuk bersamanya mengatasi permasalahan yang ada. Dan dari proses belajarnya Bambang antara lain menyimpulkan, “Banyak perusahaan memiliki kelemahan pada sistem pengawasannya. Dan bila hal itu diperbaiki, maka masalah-masalah perusahaan akan dapat diatasi dengan baik. Untuk itu manajemen puncak perlu menjalin komunikasi secara efektif dengan pihak-pihak yang berkepentingan dan tidak terburu-buru mengambil keputusan berdasarkan isu-isu dari orang-orang di sekitarnya. Saya selalu mencari fakta-fakta melalui pendekatan dan lobi dengan pihak-pihak yang bertikai di perusahaan.”

Bambang adalah salah satu contoh dari orang yang menganggap pengalaman tak selalu penting untuk meraih keberhasilan. Yang lebih penting adalah keberanian, kepandaian bergaul (kecakapan sosial), dan kesediaan belajar hal-hal baru dari lingkungan di sekitarnya dan dari orang-orang yang telah lebih dahulu terjun ke bisnis tersebut.   

Dalam banyak persoalan di berbagai bidang kehidupan, kita tidak memerlukan pengalaman lebih dahulu untuk dapat mengatasinya. Seorang balita tidak memerlukan pengalaman lebih dahulu untuk belajar berjalan. Seorang yang baru menyelesaikan pendidikannya tidak memiliki pengalaman kerja, tetapi dapat belajar mengerjakan tugas dan tanggungjawabnya dalam pekerjaan (learning by doing). Singkat kata, sepanjang Anda bersedia membuka pikiran, Anda dimungkinkan untuk berhasil. Ingatlah pesan Ken Blanchard, “Pikiran kita seperti parasut, yang hanya berguna bila terbuka.”

Pikiran yang terbuka adalah salah satu kunci utama. Dan pengalaman yang bagaimanapun hebatnya, tanpa disertai pikiran yang terbuka akan kehilangan daya pikat dan justru menjadi belenggu. Sebaliknya, dengan pikiran yang terbuka tanpa pengalaman apa pun Anda dimungkinkan untuk berkembang. Jadi, bila Anda belum memiliki pengalaman yang berarti dalam bidang pekerjaan yang Anda minati, janganlah berkecil hati. Yang lebih penting adalah kesediaan Anda untuk belajar dari siapa pun, di mana pun, dan dalam waktu yang bagaimanapun.

Namun, sekalipun pikiran yang terbuka untuk selalu belajar merupakan kunci yang utama, hal itu bukanlah kunci satu-satunya. Hal-hal yang menyangkut soal hati (motivasi, misalnya), dan kemauan (kerja keras, misalnya) sangat penting untuk ditumbuhkembangkan secara terpadu dan menyatu (integratif).

Dee Hock, pendiri Vi-sa International, pernah mengatakan, “Terima dan promosikan karyawan. Pertama, berdasarkan integritas; kedua, motivasi; ketiga, kemampuan; keempat, pemahaman; kelima, pengetahuan; dan terakhir yang bukan paling penting, pengalaman.” Dengan ajaran semacam itu Dee Hock, yang juga berperan sebagai Chief Executive Officer, berhasil membawa Vi-sa International berkembang pesat. Sejak didirikan tahun 1970, Vi-sa telah menjangkau 200 negara lebih di berbagai belahan bumi dengan nasabah (pemegang kartu) lebih dari 500 juta orang. Tahun 1997 pendapatan tahunan menyentuh angka satu triliun dolar sebagaimana diimpikan oleh Dee Hock jauh-jauh hari.

Mengapa bagi Dee Hock pengalaman bukan yang paling penting dalam merekrut dan mempromosikan karyawan? Inilah jawaban manusia satu triliun dolar itu, “Tanpa integritas, motivasi akan berbahaya; tanpa motivasi, kemampuan akan tidak mempunyai daya; tanpa kemampuan, pemahaman akan terbatas; tanpa pemahaman, pengetahuan menjadi tak berarti; tanpa pengetahuan, pengalaman menjadi buta. Pengalaman paling mudah diberikan dan dengan cepat dapat dimanfaatkan oleh orang yang mempunyai kualitas lain.”  

Pandangan Dee Hock dengan tegas mengungkapkan kunci keberhasilan Vi-sa International. Ia menohok pikiran kebanyakan manajemen puncak yang selalu menempatkan pengalaman sebagai kriteria utama atau yang paling penting dalam perekrutan atau promosi internal. Lebih jauh, ia memberikan optimisme kepada orang-orang yang miskin pengalaman untuk tidak berkecil hati.

Jadi, pergunakanlah segenap potensi kemanusiaan Anda, akal budi (pemahaman, pengetahuan, hemisfer kanan dan kiri otak), hati nurani (integritas dan motivasi, yang merupakan komponen utama kecerdasan emosional), dan kemauan (kemampuan). Dan bila potensi itu berhasil Anda aktualisasikan “keluar” dari diri Anda, maka bersiap-siaplah untuk mengalami keajaiban.

Oleh, *) Andrias Harefa
Author: 40 Best-selling Books; Speaker-Trainer-Coach: 22 Years Plus
Alamat www.andriasharefa.com – Twitter @ aharefa